Template Updates

Sunday, July 1, 2012

Detik demi detik menjelang Nabi Muhammad meninggal

”Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah
Kusempurnakan nikmatKu kepadamu serta telah Kuridhai Islam sebagai
agamamu” (Al-Maa’idah : 3)
Mendengar ayat ini menangislah Umar ra.
Nabi SAW bertanya : ”Apakah yang membuatmu menangis?”
Umar ra menjawab : ”Yang membuatku menangis adalah kalau kita selama
ini selalu bertambah-tambah dalam agama kita. Tetapi kalau sekarang
agama itu telah sempurna, maka sesuatu yang sudah sempurna tidak bisa
lain kecuali dia akan berkurang”
Nabi bersabda : ”Benar engkau!” (Abus Su’ud)

Telah diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan setelah Ashar hari Jum’at
di Arafah pada Haji Wada’. Waktu itu Nabi Muhammad SAW sedang
mengerjakan wukuf di Arafah diatas unta, dan setelah ayat ini tidak
lagi turun ayat tentang kewajiban.
Ketika turun ayat ini Nabi Muhammad SAW merasa tidak kuat menanggung
arti dari ayat tersebut. Beliau bertelekan (bersandar) pada untanya dan
unta pun tertunduk.

Turunlah Malaikat Jibril dan berkata :”Ya Muhammad, benar-benar telah
sempurna hari ini perihal agamamu dan telah selesai apa yang telah
diperintahkan Tuhanmu kepadamu, dan apa yang dilarangNya padamu.
Kumpulkan sahabat-sahabatmu dan kabarkan pada mereka bahwa aku tidak
akan lagi turun kepadamu setelah hari ini.”
Lalu kembalilah Rasulullah dari Mekah ke Madinah. Dikumpulkannya
sahabat-sahabatnya dan dibacakannya ayat tersebut kepada mereka serta
menceritakan kepada mereka tentang apa yang dikatakan oleh Jibril AS.

Mendengar berita tersebut bergembiralah para sahabat dan mereka berkata :“Telah sempurna Agama kita”
Kecuali Abu bakar ra. Dia sangat bersedih dan kembali kerumahnya. Dia
mengunci pintu dan tenggelam dalam tangisnya siang malam. Para sahabat
mendengar keadaan Abu Bakar itu, mereka berkumpul dan mendatangi rumah
Abu Bakar ra.

Mereka bertanya : ”Hai Abu Bakar, mengapa engkau menangis pada
saat kita harus bergembira dan senang? Karena Allah SWT telah
menyempurnakan Agama kita.”
Abu Bakar berkata : ”Hai para Sahabat,
kamu semua tidak mengetahui bencana yang akan menimpamu.
Bukankah kamu mendengar bahwa suatu perkara apabila telah sempurna maka
akan muncul kekurangannya? Ayat ini mengabarkan tentang perpisahan
kita, tentang keyatiman Hasan dan Husain dan tentang Istri-istri Nabi
Muhammad SAW yang akan menjadi janda.”

Maka terjadilah teriakan diantara para sahabat, mereka semua menangis,
dan Sahabat-sahabat lain yang tidak ikut hadir dirumah Abu Bakar
mendengar tangisan dari kamar Abu Bakar, lalu mereka datang kepada Nabi
Muhammad SAW, dan mereka berkata :”Ya Rasulullah, kami tidak tahu bagaimana keadaan para sahabat itu, hanya saja kami mendengar tangisan dan teriakan mereka.”

Maka berubahlah wajah Nabi Muhammad SAW dan berdiri segera menuju rumah
Abu Bakar dan bertemu para sahabat. Beliau melihat mereka dalam keadaan tersebut diatas,
Kemudian bersabda : ”Apakah yang membuat kamu menangis?”
Berkatalah Ali ra.: ”Tadi Abu Bakar berkata, Aku telah mencium bau wafat Rasulullah SAW dari
ayat ini. Apakah benar ayat ini dapat diambil sebagai petunjuk atas wafatmu?”.
Nabi Muhammad SAW bersabda : ”Benar Abu Bakar dalam ucapannya itu. Memang benar telah dekat keberangkatanku dari hadapanmu dan telah tiba saat perpisahanku dengan kamu semua.”
Setelah Abu Bakar ra. mendengar sabda Rasulullah itu berteriaklah dia sekeras-kerasnya dan jatuh tak sadarkan diri.

Ali ra. bergetar tubuhnya dan para sahabat lain menjadi ribut, mereka
ketakutan semuanya dan menangis sejadi-jadinya, hingga gunung-gunung
dan batu-batu ikut menangis bersama mereka, demikian pula para
Malaikat. Ulat-ulat dan binatang-binatang darat maupun di laut,
semuanya ikut menangis.

Kemudian Nabi Muhammad SAW berjabatan dengan para setiap orang dari
para sahabat, berpamitan dan menangis serta memberi wasiat kepada
mereka. Kemudian Beliau hidup setelah turunnya ayat tersebut dalam
delapan puluh satu hari.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa setelah dekat wafat Nabi
Muhammad SAW, Beliau memerintahkan Bilal untuk menyerukan shalat kepada
manusia. Bilal lalu menyerukan Adzan dan berkumpullah para Sahabat
Muhajirin dan Anshar ke Masjid Rasulullah SAW. Beliau mengerjakan
shalat dua rakaat ringan bersama para sahabat. Kemudian naik mimbar,
memuji dan menyebut keagungan Allah SWT.
Beliau berkhutbah dengan sebuah khutbah yang dalam, hati menjadi takut karenanya, dan air mata bercucuran karenanya.

Kemudian Beliau bersabda :

”Wahai sekalian muslimin, sesungguhnya aku adalah seorang Nabi kepada kamu,
pemberi nasihat dan berda’wah kepada Allah SWT dengan seijinNya. Dan
aku berlaku kepadamu sebagai seorang saudara yang menyayangi dan
sekaligus sebagai ayah yang belas kasih. Barang siapa diantara kamu
yang mempunyai suatu penganiayaan pada diriku, maka hendaklah dia
berdiri dan membalas kepadaku sebelum datang balas membalas di hari
kiamat.”

Tidak ada seorangpun yang berdiri menghadapnya, sehingga Beliau
bersabda demikian kedua kali dan ketiga kalinya. Barulah berdiri
seorang laki-laki bernama Akasyah bin Muhshin.
Berdirilah dia didepan Nabi Muhammad SAW dan berkata : “Demi
Ayah dan Ibuku sebagai tebusanmu Ya Rasulullah, seandainya engkau tidak
mengumumkan kepada kami berkali-kali, tentu aku tidak akan mengajukan
sesuatu mengenai itu. Sungguh aku pernah bersamamu di Perang Badar.
Saat itu untaku mendahului untamu. Maka turunlan aku dari unta dan
mendekatimu agar aku dapat mencium pahamu. Tetapi engkau lalu
mengangkat tongkat yang biasa engkau pergunakan untuk memukul unta agar
cepat jalannya dan engkau pukul lambungku. Aku tidak tahu apakah itu
atas kesengajaan dirimu atau engkau maksudkan untuk memukul untamu ya
Rasulullah?”.

Rasulullah bersabda: ”Mohon perlindungan kepada Allah hai Akasyah, kalau Rasulullah sengaja memukulmu."
Bersabda lagi Beliau kepada Bilal: ”Hai Bilal, berangkatlah ke rumah Fathimah dan ambilkan tongkatku.”

Maka keluarlah Bilal dari Masjid sedang tangannya diatas kepalanya:
”Ini adalah Rasulullah, sekarang Beliau memberikan dirinya untuk diqishash.”

Dia mengetuk pintu Fathimah, dan bertanyalah Fathimah: ”Siapa yang ada di depan pintu?”
Bilal menjawab: ”Aku datang untuk mengambil tongkat Rasulullah”
Fathimah bertanya : ”Hai Bilal, apa yang akan diperbuat Ayah dengan tongkat itu?”
Bilal menjawab: ”Hai Fathimah, Ayahmu memberikan dirinya untuk di qhisash."
Fathimah bertanya lagi: ”Hai Bilal, siapakah yang sampai hatinya mau membalas pada Rasulullah?”

Lalu Bilal mengambil tongkat itu dan masuklah dia ke Masjid serta
memberikan tongkat itu kepada Rasulullah, sedang Rasul kemudian
menyerahkannya kepada Akasyah.

Ketika Abu Bakar dan Umar ra. memandangnya, maka berdirilah mereka berdua dan berkata : ”Hai Akasyah, aku masih berada didepanmu, maka balaslah kami dan janganlah engkau membalas kepada Nabi Muhammad SAW.”
Bersabdalah Rasulullah SAW: ”Duduklah engkau berdua, Allah telah mengetahui kedudukanmu.”

Berdiri pula Ali ra. dan berkatalah dia: ”Hai Akasyah, aku
masih hidup didepan Nabi Muhammad SAW. Tidak akan aku sampai hati kalau
engkau membalas Rasulullah SAW. Ini punggungku dan perutku, balaslah
aku dengan tanganmu dan deralah aku dengan tanganmu.”
Nabi Muhammad SAW bersabda : ”Hai Ali, Allah telah mengetahui kedudukan dan niatmu.”

Berdiri pula Hasan dan Husain, dan mereka berkata : ”Hai
Akasyah, bukankan engkau mengenal kami berdua. Kami adalah dua orang
cucu Rasulullah. Membalas kepada kami adalah sama seperti membalas
kepada Rasulullah.”
Nabi Muhammad SAW bersabda : ”Duduklah engkau berdua wahai kegembiraan mataku.”
Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Hai Akasyah, pukullah kalau engkau mau memukul.”

Akasyah berkata: ”Ya Rasulullah, engkau memukulku dahulu dalam keadaan aku tidak terhalang pakaianku.”

Lalu Rasulullah menyingkapkan pakaiaannya, dan berteriaklah orang-orang Islam yang hadir seraya menangis.

Ketika melihat putihnya jasad Rasulullah, Akasyah menubruknya dan mencium punggungnya.
Berkatalah dia:

”Nyawaku sebagai tebusanmu ya Rasulullah, siapakah yang akan sampai hati untuk
membalasmu ya Rasulullah. Aku melakukannya hanya mengharapkan agar
tubuhku dapat menyentuh jasadmu yang mulia, dan Allah akan memelihara
aku berkat kehormatanmu dari neraka.”
Bersabdalah Nabi Muhammad SAW: ”Ingat, barang siapa yang ingin melihat penghuni surga maka hendaklah dia melihat orang ini.”

Semua orang Islam yang hadir berdiri, dan mencium antara kedua mata Akasyah seraya berkata : ”Beruntung sekali engkau, engkau berhasil mendapatkan derajat yang tinggi dan berkawan dengan Nabi Muhammad SAW di surga.”
Ya Allah, mudahkanlah kepada kami untuk mendapatkan syafa’atnya, berkat keagungan dan kemegahanMu
(Dari Mau’idhatul Hasanah)

Ibnu Mas’ud berkata: ”Ketika dekat wafat Nabi Muhammad SAW
berkumpullah kami di rumah Ibu kita Aisyah. Kemudian Beliau memandang
kami dan bercucuranlah air matanya.

Beliau bersabda:
”Marhaban bikum rahimakumullah” (selamat datang kamu semua, mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada kamu) aku berwasiat kepada kamu agar takwa kepada Allah dan taat kepadaNya. Telah dekat perpisahan dan telah tiba kembali kepada Allah dan ke surga Al-Ma’waa. Hendaklah nanti Ali yang
memandikan aku, Al-Fadhal bin Abbas yang menuangkan air dan Usamah bin
Zaid yang membantu keduanya. Kafanilah aku dengan pakaianku sendiri
kalau kamu mau, atau dengan pakaian buatan Yaman yang putih. Jika kamu
sudah memandikan aku letakkanlah aku di tempat tidurku didalam kamarku
ini di tepi liang lahadku. Kemudian keluarlah meninggalkan aku sesaat.
Karena pertama-tama yang menshalatkan aku adalah Allah Azza wa Jalla,
kemudian Jibril, kemudian Israfil, kemudian Mika’il, kemudian Malaikat
Maut beserta anak buahnya, kemudian semua Malaikat yang lain. Setelah
ini barulah kamu masuk sekelompok demi sekelompok dan shalatkanlah aku.”
Setelah mereka mendengar kata perpisahan Nabi Muhammad SAW ini mereka berteriak seraya menangis.

Mereka berkata:
”Ya Rasulullah, engkau adalah Rasul kami
dan kepala kumpulan kami. Serta penguasa perkara kami. Jika engkau
harus pergi, lalu kepada siapakah nanti kami akan kembali dalam
menghadapi kesulitan?”

Nabi Muhammad SAW bersabda :
”Aku tinggalkan kamu pada jalan kebenaran dan jalan
yang bersinar dan aku tinggalkan untuk kamu dua penasehat: Yang
berbicara dan yang diam. Yang berbicara adalah Al-Qur’an, sedang yang
diam adalah kematian. Apabila ada sebuah kesulitan pada kamu maka
kembalilah kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan apabila hatimu keras
membantu lembutkanlah dia dengan mengambil pelajaran dengan hal ihwal
kematian.”

Detik-detik Rasulullah saw menjelang sakaratul maut.

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Ku wariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu.

Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.

Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.

"Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak dikenang.

"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah? " tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.

"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini? " tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?"

Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku". Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu." Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan diwajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

"Ummatii, ummatii, ummatiii" - "Umatku, umatku, umatku" Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wasalim 'alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. Kirimkan kepada sahabat-2 muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan RasulNya mencinta kita. Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka.

1 comment:

Budayakan Komeng di bawah ya Gan :)

share smua isi blog ane tapi tautkan sumbernya

blogger yang baik adlh blogger yg menghargai blog orang lain